PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia dewsa ini merupakan masyarakat peralihan yang mengalami transformasi sosial, politik ekonomi dan budaya yang cepat serta memperoleh pengaruh dari dunia luar secara intens, industrialisasi, urbanisasi, sekulerisasi, polarisasi masyarakat Indonesia yang cendrung menjadi berbagai kelas merupakan proses yang terus berjalan dengan segala macam implikasinya. Dalm kontekes perubahan atau pembaharuan inilah organisasi islam yang berkembang dalam bidang agama dan politik yang banyak di bahas di kalangan masayarakat luas, dan juga di makalah ini terdapat empat organisasi islam yang berkembang di Indonesia yang berkenaan dengan masalah keagamaan dan politik dari prasejarah hinga hingga pembaharuan keislamannya.
PEMBAHASAN
A. Muhammadiyah
Ketika Muhammadiyah didirikan oleh KH, Ahmad Dahlan pada tahun 1912, umat islam sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk, Bersama seluruh bangsa Indonesia, mereka terbelakang dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah kemakmuran dan ekonomi yang parah serta kemampuan politis yang tidak berdaya. Lebih memperhatinkan lagi identitas keislaman merupakan salah satu poin negatif kehidupan umat, Islam waktu itu identik dengan profil kaum santri yang selalu mengurusi kehidupan akhirat sementara tidak tahu dan tidak mau tahu dengan perkembangan zaman, Sementara lembaga organisasi keagamaan juga masih berkelut dengan urusan yang tidak banyak bersentuh dengan dinamika realitas sosial apalagi berusaha untuk memajukan.
Ajaran islam seakan menjadi belenggu yang semakin membenamkan umatnya kepada situasi yang tidak berharga dan tidak berdaya, disisi lain kelompok masyarakat yang terdidik menjadi alergi dengan islam dan kaum muslim karena dianggap sebagai sumber keterbelakangan masyarakat dan tidak bisa dijadikan jalan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Sebagaimana tercermin dalam profil pendirinya Muhammadiyah hadir sebagai pendobrak di inspirasikan oleh gerakan pembaharuan islam di dunia internasional yang ditokohi jamaludin Al-afgani, Muhammad abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain, Muhammadiyah bergerak menggali nilai-nilai islam yang benar dan universal sebagai petunjuk hidup dan kehidupan. Kemudian Muhammadiyah berkembang dalam arah gerakan modernis, sebagai avan grade masyarakat Indonesia yang sedang bangkit dari tidur panjang selama tiga setengah abad di bawah kolonialisme, sejalan dengan logika modernisme secera akumulatif Muhammadiyah berkembang menjadi jaringan organisasi besar dengan amal usaha yang makin meningkat dalam jumlah dan ragamnya.
Ada dua arah perkembangan Muhammadiyah dalam kerangka kemodernanya, yaitu yang pertama pertumbuhan dan kemajuan ide tentang pertumbuhan growth dan kemajuan progress merupakan dua kata kunci utama kebudayaan modern yang menggambarkan akumulasi jumlah quantity dan peningkatan keragaman diversity.Keduanya merupakan rumusan atau turunan dari ciri utama modernisme dan materialisme Muhammadiyah mencoba menyuntikkan nilai-nilai materialisme kedalam masyarakat yang telah keropos karena mengaggap kehidupan materi duniawi tidak memiliki nilai-nilai secara religius.
Arah perkembangan kedua adalah sistematisasi, yang merupakan rumusan turunaan dari prinsip modernisme, sistematisasi ini tidak mengarah organisasional dengan dibentuknya berbagai majelis dan organisasi otonom melainkan juga dalam kehidupan beragama, mulai di bentuk lembaga untuk mensisitematisir pemahaman, pemikiran dan pelaksanaan peribadatan yaitu majelis tarjih dan hasilnya disistematisir dalam sebuah manual himpunan putusan tarjih, kedua trobosan tersebut, pertumbuhan, perkembangan, kemajuan dan upaya membangun masyarakat umat islam dari masyarakat bodoh, miskin terbelakang dan terjajah hinga menjadi masyarakat yang mandiri, makmur dan berpendidikan. (Abdul Munir Mulkhan. 1990, hal; 1-2)
Dua arah perkembangan tersebut di jadikan oleh organisasi Muhammadiyah dalam kerangka modernisasi dan sistematisasi itu merupakan rumusan untuk memajukan agama islam yang murni menurut Al-Qur’an dan sunnah rosull
Karanka pandangan dunia modernis makin lama makin banyak maendapat kritik karena dianggap tidak lagi sesuai, orang-orang modrnis dianggap telah melangkah terlalu jauh dengan menjadikan rasionalisme dan materialisme bukan lagi perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi, dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme sebagai ideologi orang-orang modernis telah mutlak kedua nilai tersebut dan gagal melihat berbagai keterbatasan yang inheren di dalamnya.
Orang-orang muhamadiyah belum mampu memahami bahwa bentuk gerakan mereka merupakan sebuah hasil pemikirannya untuk mengatasi tuntutan keadaan, krangka organisasi modernis hanyalah sarana untuk mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam konteks masyarakat pada waktu itu, modernisme bisa dikatakan bukan substansi gerakan yang di bangun oleh K.H.A Dahlan hingga kinipun orang lebih mengenal gerakan anti TBC (tahayul, bid’ah, dan curafat) dan bukan gerakan sosial dan budaya.
Prinsip utama gerakan Muhammadiyah merupakan hasil pemahaman terhadap ajaran islam yang termaktub dalam al-qur’ann dan sunnah hasil pemahaman demikian dirumuskan sebagai pola kelakuan perjuangan muhammadiyah yang kemudian mendorong memberi arah dan bentuk setiap aktifitas Muhammadiyah, keseluruhan dari prinsip perjuangan Muhammadiyah dapat dikelompokan menjadi lima prinsip yaitu; Prinsip gerakan islam
1. Prinsip gerakn sosial
2. Prinsip gerakan dakwah
3. Prinsip gerakan ilmu
4. Prinsip gerakan tajdid
Dari 5 prinsip tersebut merupakan sistem gerakan muhammadiyah dalam pembaharuan islam, Dilain pihak KH, Ahmad Dahlan juga melihat perlunya dilakukan pembaharuan system pendidikan islam dari pesantren menjadi system pendidikan modern, karena itu tidak mengherankan jika berdirinya muhammadiyah diawali dengan “pendiri sekolah islam, yaini gabungan antara pendidikan umum dengan system madrasah, dirumah sendiri dikampung kauman yogyakarta, melalui lembaga pendidikan inilah pendiri Muhammadiyah ini mencoba merealisasikan gagasannya untuk menjadi organisasi sosial keagamaan berlebel Reformasi. (Abdul MM, 2000: 157), hubungan sistematik kelima prinsip gerakan Muhammadiyah menjadikan setiap akivitas harus menjalankan kelima prinsip tersebut, hal ini berarti bahwa suatu kegiatan sebagai penerapan satu prinsip lainnya bahkan sekaligus merupakan penrapan prinsip lainnya, namun demikian karena prioritas nya diterapkan sebagai nsatu prinsip gerakan tertentu, maka arh utama dari kegiatan tetap didasarkan pada prinsip garakan.
Kehadiran sebuah organisasi sosial keagamaan dengan predikat pembaharu pada dasa warsa kedua, abad kedua puluh ini dipandang sebagai satu kemajuan besar dikalangan umat islam.. Tradisi keagamaan yang dipengaruhi oleh budaya keraton dan sinkretis, menyebabkan K.H.A. Dhlan memilih pembaharuan sebagai upaya memurnikan ajaran islam, dengan cara mengembalikannya kepada dua sumber utama yaitu; Al-Qur’an dan As-sunnah. (M.Rusli Karim, 1986; 17-18)
Sejak Muhammadiyah didirikan “bernawitu” menjadi gerakan islam sesuai dengan bimbingan Allah dalam A-Qur’an serta teladan Rosulullah dalam fikiran modern yang selaras dengan kedua basis sebelumnya, dengan dasar-dasar tersebut Muhammadiyah mampu menumbuhkan cara hidup yang dinamik, rasional, dan individualistic serta gaya hidup kota yang duniawi dan mampu mengkombinasikan pola dan metodeorganisasi barat yang modern dengan prinsip dan nilai islam mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, jadi jelas pilihan yang dijatuhkan, sebagai gerakan tjdid menempati dua sisi mata uang yang sama. Pemurnian islam dari segala bentuk bid’ah dan kurafat serta penerapan islam dalam masyarakat dengan pola dan metode modern.
Dengan Islam benar Muhammadiyah menjadi kokoh, teguh dan berpribadi dengan ilmu-ilmu modern Muhammadiyah lebih mudah menerapkan islam dalam kehidupan masyarakat.
Etos Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan islam terlalu sederhana untuk hanya dikaitkan dengan masalah kekuasaan politik apa lagi jabatan presiden, menteri atau DPR. Karena itu, penting bagi Muhammadiyah untuk tetap konsisten pada jati dirinya sebagai gerakan sosial dan budaya, jika pada satu masa nampak ketergiuran kader gerakan ini pada permainan kekuasan adalah pertanda dari sebagai pusat keunggulan peradaban, walaupun demikian, bagi muhammmadiyah, kejkuasaan atau partai politik bukansesuatu yang di pandang tidak panting atu di luar keberadaan dirinya sebagai gerakan sosial atau kebudayaan.
Di dalam dinamika demokrasi politik kebangsaan dan orientasi pad aide masyarakat madani di masa depan peran penting Muhammadiyah justeru terletak psda kemampuan gerakan menempatkan diri sebagai pencerah peradaban sebagai etos gerakannya. Inilah sebenarnya pesan pembaharuan kiayi Ahmad Dahlan, sehingga pada awal kemunculannya ia mampu menyerap berbagai pusat keunggulan pada masanya.
Gerakan tersebut mulai berubah lagisetelah mengalami formalisasi atas pembaharuannya dalam berbagai lembaga dan terutama sesudah pengembangan Tarjih sebagai lembaga fatwa hukum fikih, sejak itu tidak lama pendiri wafat, sebenarnya gerakan ini mulai mengalami proses tradisionalisasi, Muhammadiyah seolah-olah identik dengan tarjih yang kemudian diartikan hanya sebagai lembaga fatwa syariah (fikih).
Formalisasi dan tradisionalisasi itu menjadi lebih hebat sesudah ketertarikan Muhammadiyah terhadap kekuasaan dan permainan politik praktis menjadi semakin besar tidak lama sesudah kemerdekaan, tahun 1945 khususnya bersamaan dengan berdirinya Masyumi, salah satu penyebabnya ialah kekaguman para aktivis Muhammadiyah terhadap keberhasilan kiayain Ahmad Dahlan dalam membangkitkan semangat sosial dan kebudayaan pemeluk islam, demikian pula keberhasilan kyaiA hmad Dahlan mendorong tumbuhnya berbagai amal usaha atau berbagai lambaga sosial yang terus bertambah hampir tanpa seinngat terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, pemujaan kebesaran diri itulah kemudian yang menyebabkan aktivisnya merupakan peran sejarah yang bisa dan harus dimainkannya.
B. PERSIS (PERSATUAN ISLAM)
PERSIS sebagai organisasi yang berlebel Modernis lahirnya persatuan islam di telah memberi warna baru bagi sejarah peradaban islam di Indonesia, persis yang lahir pada abad ke-20 merupakan respon terhadap kerakter keberagaman masyarakat islam di Indonesia yang cendrung sinkretik, akibat pengaruh prilaku keberagaman masyarakat, Indonesia sebelum kedatangan islam praktik-2 sinkretisme ini telah berkembang subur, akibat sikap akomodatif para penyebar islam di Indonesia terhadap adat-istidat yang sebelumnya telah mapan. Meskipun tidak dapat di pungkiri, bahwa keberhasilan penyeberan islam juga tidak lepas dari sikap akomodatif. Bagi PERSIS, praktik sinkretisme merupakan kesesatan yang tidak boleh dibiarkan berkembang dan harus segera dihapus karena bias merusak sendi-sendi fundamental agama islam.
Hal lain yang mejadi sasaran reformasi yang dilakukan persis adalah kejumudan berfikir yang dialami oleh sebagian besar umat islam Indonesia akibat tklid buta yamg mereka lakukan dalam menjalankan syari’at agama. Sebagai mana diketahui, bahwa praktik peribadatan masyarakat Indonesia pada umumnya didasarkan pada hasil rumusan para imam mazhab 800 tahun silam, Mereka beranggapan bahwa, hasil ijtihad para imam mazhab tesebut merupakan keputusan terbaik dan harus di ikuti apa adanya.(M.muksin, 2007; 224)
Dilacak dari akar sejarahnya, reformasi yang diusung persis merupakan pengaruh dari faham wahabi melalui para pendirinya, yaitu ketika organisasi persis pertama kali didirikan dikaota, di pelopori oleh H. Zam-zam dan H. Muhammad Yunus, mereka adalah ulama persis yang pernah pengenyam pendidikan di darul ulum, mekkah tempat berkembangnya paham wahabi. Hasil beklajar H. Zam-Zam ini kemudian di tularkan kepada segenap rekannya seperti H. Muhammad Yunus dan beberapa rekan lainnya yang sama-sama melakukan kenduri secara rutin di bandung, yang di isi dengan kajian-kajian keislaman dan teks-teks klasik dari ulama salafi. Muhammad yunus sendiri, meskkipun dia tdak pernah belajar di mekkah, dia memiki kemampuan bahasa arab, serta memiliki semangat yang tinggi untuk mengkaji kitab-kitb bahasa arab yang di belinya, dari hasil kajian-kajian inilah kemudian lahir pemikiran gerakan dan keislaman sebagai refleksi kritis terhadap situasi dan kndisi masyarakat islam indonesi, pemikir pembaharu yang banyak menentang praktik keagamaan yang tradisional dan banyak di pengaruhi oleh pemikiran salafi. (Muksin jamil, 2007: 225-227)
Dalam kepemimpinan persis periode pertama (1923-1942) berada di bawah pimpinan H. Zam-zam, Muhammad yunus, Ahmad hasan, dan Muhammad Natsir yang menjalanka roda organisasi pada masa penjajahan colonial belanda, dan menghadapi tntangan yang berat dalm menyebarkan ide-ide dan pemikiranna. Pada masa penduduk jepang (1942-1945), ketika semua organisasi islam dibekukan, para para pemimpin dan anggot persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niposisasi dalam pemusyrikan ala jepang,hingga menjelang proklamasi kemerdekaan pasca kemerdekaan, persis mulai reorganisasi yang telah di bekukan selama penduduk jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan persis di pegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. M. Isa Anshari, sebagai ketua umum persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhrudin Al-khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dan lain-lain.
Pada masa ini persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil, pemerintah republik Indonesia seperti mulai tergiring kearah demokrasi terpimpin yang di rancangkan oleh presiden Soekarno dan mengarah pada pembentuk negara dan masyarakat dengan ideologi Nasionalis, agama, komonis (NASAKOM), Setelah berakhirnya periode kepemimpina K.H. Muhammad Isa Ansshary, kepemimpinan persis di pegang oleh K.H..E. Abdurahman (162-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu isa bugis, isa bugis, islam jama’ah, darul hadist, inkarus sunnah, syi’ah, ahmadiyah dan faham sesat lainnya. Kepemimpinan K.H.E Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A LAtif Muctar, MA (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaan (pemuda persis).
Pada masa kini persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realitis dan kritis, Gerak perjuangan persis tidak terbatas pada persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas pada persoalan-persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan strategis yang di butuhkan oleh umat islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikir keislaman.(http://persatuan islam.wordpress.com, 2010, 14:30)
Jadi persis pada saat ini sangat dibutuhkan oleh umat islam terutama pada urusan muamalah dan pengkajian pemikiran keislaman dan juga gerak perjuangan persis itu tidak terbatas pada persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi juga meluas pada persoalan strategis.
Pada dasarnya, perhatian persis ditujukan terutama pada faham Al-Qur’an dan sunnah, hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tablgh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren ), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya, tujuan utmanya adalah terlaksananya syari’at islam secara kaffa dalam segala aspek kehidupan, untuk mencapai tujuan jam’iyyah, persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang mulai dengan mendirikan pesaantren persis pada tanggal 4 maret 1936, dari pesantren persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (taman kanak-kanak ) hingga perguruan tinggi, kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitb, dan majalah antaralain majalah pembela Islam (1929 ), majalah Al-fatwa,(1931), Al-lissan (1935), majalah At-taqwa (1937) majalah Al-hikam (1939), majalah Aliran islam (1948), majalah risalah (1962), serta berbagai majalah yang di terbitkan di cabang-cabang persis.
Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak di gelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif pimpinan pusat persis maupun permintaan dari cabang-cabang persis, undang-undang dari organisasi islam lainnya, serta masyarakat luas..
C. Nahdatul Ulama (NU)
Nahdatul ulama (NU) lahir pada tanggal 31 januari 1926 di Surabaya, organisasi ini di prakarsai oleh sejumlah ulama terkemuka, yang artinya kebangkitan para ulam, NU didirikan untuk menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional, atau sebagai reaksi atas prestasi ideologi gerakan modernisme islam yang mengusung gagasan purifikasi puritanisme, pembentukan NU merupakan upaya peorganisasian dan peran para ulama, pesantren yang sudah ada sebelumnya, agar wilayah kerja keulamaan lebih ditingkatkan, dikembangkan dan di luaskan jangkauannya dengan kata lain didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah-langkah para ulama dan kiai pesantren. (Muksin jmil, 2007; 227)
Dalam pandangan NU tidak semua tradisi buruk, usang, tidak mempunyai relevansi kekirian, bahkan tidak jarang, tradisi biasa memberikan inspirasi bagi munculnya modernisasi islam penegasan atas pemihakkan terhadap “warisan masa lalu “ islam di wujudkan dalam sikap bermazhab yang menjadi typical NU, dalam memahami maksud Al-Qur’an dan hadist tanpa mempelajari karya dan pemikiran-pemikiran ulama-ulama besar seperti, Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali hanya akan sampai pada pemahaman ajaran islam yang keliru.
Demikian juga dalam pandangan kiai, hasyim yang begitu jelas dan tegas mengenai keharusan umat Islam untuk memelihara dan menjaga tredisi islam ditorehkan para ulama klasik. Dalam rangka memelihara system mazhab kiai Hasyim merumuskan gagasan ahlusunnah waljama’ah yang bertumpa pada pemikiran, AbuHasan al-asyari, Mansur Al-Maturdi imam Hana fi, Maliki, syafi’I, dan Hambali, serta ima Al-ghozali, junaid Albaghdadi dan imam mawrdi.
Pada dasawarsa 1980 dan 1990 terjadi perubahan mengejutkan didalam lingkungan Nahdatul Ulama ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi jam’iyyah diniyyah, bukan lagi wadah politik, dengan kata lain, sejak muktamar sutibondo (1984)p ara kiai bebas berafiliasi dengan partai politik manapun mksudnya dengan partai golkar dan menikmati kedekatan pemerintah, NU tidak asing lagi oleh pemerintah, sehingga segala aktifitasnya, pertamuan, seminar tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi.(http://organiasi islam.wordpres.com, 207, 11:05).
Jadi, dapat di pahami perubahan tersebut merupakan momentum dalam politik orde baru, NUsebagai politik sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
Terdapat pula perubahan lainnya dikalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain, selama ini NU di anggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik, prihal pemikiran keagamaan NU justru didirikan sebagai wadah para kiai untuk bersama-sam bertahan terhadap garakn pembaharuan pemikiran islm yang di wakili oleh Muhammadiyah, Al-irsyad dan persis, Nu hanya manerima interprestasi islam yang tercantum dalam kitab kuning “ortodoks” al-kutub al- mu’tabarah, terutama fiqh Syafi’I dan aqidah menurut mazhab asy’ari, dan menekan tklid kepada ulama besar pada masa lalu.
Dengan latar belakang aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa 1970 dan 1980, muncul wacana-wacana baru, yang berani mempertanyakan interprestasi khazana klasik yang sudah mapan dan mencari relevansi tradisi islam untuk msyarakat yang sedang mengalami perubahan secara cepat, merupakan suatu perkembangan revolusioner, baik daalam aktivitas LSM maupun dalam wacana yang berkembang.
Perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai tonggak organisasi NU kepada massa besar, akar rumput yang merupakan mayoritas jama’ahnya tetapi kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan. Dominasi akivitas dan wcana NU dan keturunan mereka (kaum Gus-gus), telah mulai terdobrak, sebagian besar aktivis dan pemikir muda yang memberi nuansa kepada NU pada dasawarsa 1980 dan 1990 tidak berasal dari kasta kiai melainkan dari keluarga awam, yang mengalami mobilitas sosial, tetapi perlu kita dicatat bahwa mereka bias muncul karena mnendapat dukungan dan perlindungan dari sejumlah tokoh muda dari kalangan elit seperti, Fahmi sifuddin, Mustafa bisri, dan Abdurahman Whid.
Nahdatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi, tokoh NU, K.H. Hasyim asy’ari terpilih sebagai pimpinan tertinggi masyumi pada saat itu, tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam pengurusan Masyumi dank arena keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.
Nahdatul ulama kemudian keluar dari masyumi melalui surat keputusan pengurusan besar Nahdatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 april 1952 akibat adanya pergesekan politik diantara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasikan para kiai NU pada persoalan agamanya saja.(http://organisasi Islam, worrdpress.com) Hubungan antara kedua partai tersebut NU keluar dari partai Masyumi diakibatkan, pergesekkan politik kaum intelektual partai Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU yang mengurusi pada persoalan agama saja.
D. MASYUMI
Proklamasi kemerdekaan RI membawa angin Segar bagi perkembangan politik dan demokrasi bangsa ini, setiap anak bangsa larut dalam keindahan nasionalisme, hal itu juga terjadi pada tokoh-tokoh Islam saat itu sebelum kemerdekaan mereka begitu semangat untuk menegakkan cita-cita islam.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia PNI menjadi partai Negara, namun menjelang Oktober 1945, PNI muncul dengan wajah baru karena di mulainya system banyak partai yang juga berarti terbukanya kembali ruang bagi kalangan islam untuk ikut serta di dalamnya serta sebagai sarana bagi mereka untuk menegakkan cita-cita islam
Kebijakan pemarintah dalam pendirian partai-partai ini pada awalnya banyak disesalkan oleh kalangan Islam, argument mereka antara lain didasarkan pada penikiran bahwa di waktu genting setelah proklamasi yang di butuhkan persaudaraan rakyat bukan malah kebijakan atau penerapan sistem banyak partai justru dapat memicu terjadinya perpecahan.
Masyumi didirikan pad 24 oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena jepang memerlukan satu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama islam, meskipun demikian, jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai islam yang telah ada di zaman belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola piker modern, sehingfga pada minggu-minggu pertama, jepang telah melarang partai sarikat islam Indonesia (PSII) dan partai islam Indonesia (PII).
Pada tanggal 7-8 Oktober diadakan muktamar islam di yogyakarta yang di hadiri oleh hamper semua tkoh berbagai organisasi islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan jepang.
Kongres memutuskan untuk mendirikan syuro pusat bagi umat islam Indonesia , masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat islam pada awal pendiri masyumi, hanya empat organisasi yang masuk masyumi yaitu; Muhammadiyah, NU, perikatan ulama islam, dan persatuan umat islam.
Setelah itu barulah organisasi islam yang lainnya ikut bergabung kemasyumi antara lain persatuan islam (bandung), al-irsyad (Jakarta), Al-jamiatul Washliyah dan Al-ittihadiyah (dari sumatera utara), selain itu pada tahun 1949 setelah rakyat pendudukan belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah yang dikuasai oleh RI, banyak di antara organisasi islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan masyumi mudahnya persyaratan untuk masuknya organisasi isalam kedalam Masyumi menjadi slah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi islam yang masuk kedalamnya, namun yang lebih penting mengenai alas an mereka masuk kedalam Masyumi di karenakan semus pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan islam. (organisasi islam wordpress.com)
Hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat cabang Masyumi atau organisasi-organisasi islam yang bergabung dengan Masyumi, disamping afiliasi organisasi -organisasi, Faktor penyebab Masyumi cepat berkembang, ialah peranan ulama masing-masing daerah serta ukhwa islamiah yang relatif tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.
Tanpa mengetahui dengan dalam dasar dan cita-cita perjuangan Masyumi itu merupakan partai islam, setelah banyak orang yang dalam politik mengidenkkan dengan dirinya dengan partai tersebut. Pada awal pendirinya, yang menjadi perdebatan yaitu mengenai struktur masyumi yang ideal, hal itu disebabkan karena masyumi adalah sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai organisasi islam yang mnembuat setiap pembahasan hal itu selalu dinamis. Diantara tokoh-tokoh masyumi yang cukup terkenal adalah:
1. K..H. Hasyim ASy”ri
2. K.H.Wahid Hasyim
3. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
4. Muhammad Nasir
5. Syafrudin Prawiranegara.
Setelah diproklamirkannya kemerdekaan RI, Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia, namun dengan kemayoritasan itu tidak dibarengi dengan adanya pandangan yang sama terhadap Islam dan Politik, Dalam hal ini ada dua pandangan masyarakat Indonesia mengenai hubungan tersebut, yang pertama bahwa, Islam merupakan agama yang lengkap, yang mengatur semua sendi kehidupan, termasuk di dalamnya, mengatur hubungan dengan politik (Negara). Sedangkan pandangan kedua, bahwa Islam sebagai sebuah panduan dan kode etik dalam kehidupan bernegara, bahkan juga terdapat pemisahan total antara keduanya.
Masyumi, yang didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra kemerdekaan RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan Islam dan Politik di Indonesia, Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan tanggal 7 November 1945, diadakanlah muktamar umat Islam Indonesia di Yogyakarta, di dalam keputusannya, diambil kesepakatan bahwa diperlukannya suatu wadah untuk menampung aspirasi umat Islam dan menyalurkannya melalui wadah tersebut.
Maka, partai Masyumi pun dibentuk, Besarnya partai Masyumi ternyata tidak bisa dielakkan dari perpecahan bahkan terjadi pembubaran pada tahun 1960 oleh rezim pada saat itu, Setelah bergantinya dua rezim, ternyata tidak mampu menghilangkan roh partai itu, justru sebaliknya, sisa-sisa para pegiatnya sanggup membangkitkan dan melahirkannya kembali, Namun, disayangkan persatuan para pegiatnya itu tidak ada, sehingga melahirkan beberapa bentuk partai Islam yang berbeda dari partai Masyumi atau sebagai metamorfosis partai Masyumi.
Hubungan yang terjadi antara Masyumi dengan partai yang lahir dalam pemilu 1999 dan partai apa yang merupakan partai metamorfosis dari partai Masyumi Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari penyusunan ini, maka pendekatan yang digunakan adalah sosio-historis, yaitu menela’ah fenomena sosial dan partai-partai yang lahir pada pemilu 1999 dengan memaparkan perjalanan Masyumi dari awal berdirinya (1945) hingga partai ini dibubarkan (1960), Kemudian data yang terkumpul dianalisis secara kuantitaif dengan metode berpikir deduktif-induktif Dengan menggunakan pendekatan dan metode tersebut di atas menunjukkan bahwa, mendirikan partai Islam merupakan suatu kemaslahatan bagi umat. Sebagaimana Masyumi, pembentukan partai tersebut selain bertujuan untuk kelangsungan demokrasi, juga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah.
Demikian juga dengan partai-partai Islam yang lahir pada pemilu 1999, adanya kesamaan-kesamaan antara partai Masyumi dengan partai-partai Islam yang lahir pada pemilu 1999 baik dari perjuangannya, ideologinya, asasnya, nama partainya, tanda gambarnya, maupun basis massanya, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya sebuah hubungan historis perjuangan yang tidak terputus antara partai-partai Islam 1999 seperti PBB, PMB, PPIM dan, PPP dengan partai Islam Masyumi.
KESIMPULAN
Dari empat organisasi tersebut dapat di pahami pembaharuan islam yang berkenaan dalam bidang politik, sosial dan budaya bertujuan untuk memperbaiki islam yang murni,oleh karena itu ajaran islam bersifat universal, tidak saja dalam dimensi sejarah, akan tetapi juga universal dalam dimensi sosiologis dan antropologis. Dengan demikian islam adalah agama bagi semua zaman, dan bagi semua orang dalam berbagai posisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Munir Mulkhan, 1990, Pemikiran K.H..A. Dahlan dan Muhammadiyah, Bumi aksara; Jakarta .
2. M, Rusli Karim, Muhammadiyah dalam kritik dan komentar, Rajawli, Jakarta .
3. Mulkhan Abdul Munir, 2000, Menggugat muhammadiyah, Fajar pustaka baru, yogya karta.
4. Ismail Faisal, 2004, Dilema NU, Litbang, Jakarta .
5. Jamil. M.Muksin, 2007, Nalar Islam, DEPAG RI, Jakarta .
6. http: // organisasi islam.wordpress.com, 20010.
7. http;// partai islam. Wordpress.com, 20010.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon