FILSAFAT UMUM dan FILSAFAT INDONESIA



1. Pengertian filsafat
Dari bahasa : Philos =cinta    
                     Sophia = pengetahuan yang bijaksana
1.    Lingkup pengertian filsafat

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.  Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat".  Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat.  Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan).  Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.  Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya. 
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat. 
filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.  Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi  (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. 
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Misal : suatu obyek materi dipandang dari
    1. Nilai disebut aksiologi
    2. Pengetahuan disebut epistimologi
    3. Tingkah laku disebut etika
    4. Filsafat social, hukum dst
Ruang lingkup
1.    Sebagai sikap dan pandangan hidup agar tahu prinsip-prinsip sikap dan pandangan hidup.
2.    Sebagai kebijaksanaan rasional à sebagai pemecah problem hidup

Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat " filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, ...  Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk: 
1. filsafat tentang pengetahuan:
    obyek material : pengetahuan ("episteme") dan kebenaran
      epistemologi;    logika;    kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
    obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
      metafisika umum (ontologi);
      metafisika khusus:
            antropologi (tentang manusia);
            kosmologi (tentang alam semesta);
            teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
    obyek material : kebaikan dan keindahan
      etika;      estetika;
4. sejarah filsafat. 
Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan.  Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan?  Dari mana asalnya?  Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka? 
Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa".  Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang  filsafat   menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya. 
Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain.  Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.   


2.    Ciri berpikir filsafat.
  1. Kritis à mempertanyakan segala sesuatu
  2. Terdalam à tidak terbatas factor-faktor dari sesuatu.
  3. Konseptual à terkait dengan masalah-masalah konkrit yang dihadapi manusia
  4. Koheren à runtut
  5. Universal à bersifat umum untuk seluruh manusia.
3.    Cabang-cabang filsafat dan aliran

1.    Metafisika à hal-hal yang dibalik fisika
Aliran-alirannya:
a.    Segi kuantitas à dipandang dari berapa banyak penyusun kenyataan
1.  Monisme à hanya ada satu kenyataan terdalam
Thales à air
Anaximander à apeiron
Anaximenes à udara
2. Dualisme à ada 2 substansi pokok yang masing-masing berdiri sendrii.
Leibnis à dunia sesungguhnya dan dunia mungkin
Imanuel Kant à dunia hakiki dan dunia gejala.
3. Pluralisme à ada banyak substansi
b.    Kualitas à dipandang dari segi sifat penyusun kenyataan
a.    Spiritualisme à kenyataan terdalam adalah roh
Plato à ide adalah gambaran asli dari benda.
b.    Materialisme à tak ada yang nyata kecuali materi (di raba, terlihat, menempati ruang tertentu).
Demokratos à alam semesta tersusun dari atom-atom kecil sifatnya sama.

2.    Epistomologi à membahas tentang hakekat pengetahuan manusia
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai "The Study of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity". Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy, menjelaskan bahwa epistemologi adalah "the theory of knowledge." Pada tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan "the branch of philosophy which concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and the general reliability of claims to knowledge."
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Gerakan epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu.
Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya.
Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Sejarah Epistemologi
Pranarka menyatakan bahwa sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan kekuatan sebagai satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya voluntarisme.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis.
Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan rasional-natural-intelektual, antara iman dan akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini menimbulkan tumbuhnya aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemologi, karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan pengetahuan dan ajaran manusiawi intelektual-rasional di lain pihak. Pada fase inilah terjadi pertemuan dan sekaligus juga pergumulan antara Hellenisme dan Semitisme. Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme yang kelewat dari Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan epistemologi modern yang menjadi multiplikatif telah menghasilkan suasana krisis budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan epistemologi tampaknya berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
Terjadinya Pengetahuan
Vauger menyatakan bahwa titik tolak penyelidikan epistemologi adalah situasi kita, yaitu kejadian. Kita sadar bahwa kita mempunyai pengetahuan lalu kita berusaha untuk memahami, menghayati dan pada saatnya kita harus memberikan pengetahuan dengan menerangkan dan mempertanggung jawabkan apakah pengetahuan kita benar dalam arti mempunyai isi dan arti.
Bertumpu pada situasi kita sendiri itulah sedikitnya kita dapat memperhatikan perbuatan-perbuatan mengetahui yang menyebabkan pengetahuan itu. Berdasar pada penghayatan dan pemahaman kita dan situasi kita itulah, kita berusaha untuk mengungkapkan perbuatan-perbuatan mengenal sehingga terjadi pengetahuan.
Akal sehat dan cara mencoba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagi gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tidak mempunyai landasan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Randall dan Buchlar mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan. Sedangkan karakteristik akal sehat, menurut Titus, adalah (1). Karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan, (2). Karena landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar, dan (3). Karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper, tahapan ini adalah penting dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin dan digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis.
Dengan demikian berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Metode ini dikembangkan lebih lanjut oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh para pemikir Yunani dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang Muslimlah, dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia, sebab dengan demikian berbagai penjelasan teoritis dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.
Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia. Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.
Kebenaran Pengetahuan
Jika seseorang mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli estimologi dan para ahli filsafat, pada umumnya, untuk dapat membuktikan bahwa pengetahuan bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih dahulu cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan. Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indera akan berbeda cara pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akal atau rasio, intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu atau bahkan semua alat tidak dipercayainya sehingga semua harus diragukan seperti yang dilakukan oleh faham skeptisme yang ekstrim di bawah pengaruh Pyrrho.
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang kebenaran, antara lain sebagai berikut:
  1. The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
  2. The consistence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui benarnya terlebih dahulu.
  3. The pragmatic theory of truth. Yang dimaksud dengan teori ini ialah bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Sedangkan nilai kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
  1. Kebenaran wahyu
  2. Kebenaran spekulatif filsafat
  3. Kebenaran positif ilmu pengetahuan
  4. Kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-rubah dan berkembang.
Aliran dalam Epistemologi
1.    Rasionalisme
Semua pengetahuan bersumber dari akal.
Deskartes à ide bawaan sejak lahir.
Ide yang berasal dari luar manusia
Ide yang dihasilkan oleh pikiran sendiri.
2.    Empirisme
Semua pengetahuan dari pengalaman indera.
John loche à Pengalaman luar
                        Pengalaman bathin
3.    Realisme
-          Obyek yang diserap oleh indera adalah nyata dalam diri obyek tersebut (fakta tak terpengaruh oleh pikiran)
4.    Kritisisme
Pengamatan merupakan awal pengetahuan dan pergolakan akal merupakan pembentukannuya à Imanuel Kant
5.    Positivisme (comte)
Sejarah perkembangan pemikiran manusia
a.    Theologis à tahayul dipercayai
b.    Metafisis à memikirkan kenyataan tetapi belum mampu membuktikan dengan fakta
c.    Positif à pengetahuan dapat dibuktikan dengan fakta
6.    Pragmatisme
Kebenaran pengetahuan ditentukan atas manfaatnya dan sebagai sarana perbuatan.
William james à ukuran kebenaran adalah akibat praktisnya.


FILSAFAT UNTUK INDONESIA
Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.

Sebagai suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis, Indonesia: Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudul Falsafah Indonesia (1967).

Disusun menurut kronologi
  • Sebagai hasil dari falsafah itu dalam alam kenyataan, adalah kebudayaan. Dalam alam kenyataan terdapat bermatjam-matjam kebudayaan dan tiap-tiap kebudayaan ini tentu mempunyai atau berdasarkan falsafah sendiri-sendiri pula --M.Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
  • Pantja Sila ini adalah pantjaran dari Pandangan Hidup Indonesia dan pasti mengandung unsur-unsur dari Pandangan Hidup Indonesia itu didalamnja --M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
  • Saja jakin, bahwa sebelum bangsa Indonesia memeluk agama, Tuhan telah mengilhami nenek mojang Indonesia membatja, jaitu mengemukakan ketentuan-ketentuan jang terdapat pada alam itu. Nenek mojang Indonesia dengan ketentuan-ketentuan itu mentjiptakan adat itu dan adat itulah jang mengandung falsafah Indonesia asli didalamnja--M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
  • Untuk mengetahui dan menjelidiki falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan menjelidiki adat dan pantun Indonesia--M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
  • Kehidupan desa-desa kita diarahkan dan dipengaruhi oleh nenek-moyang sebagai filosof, melalui adat, pandangan dan sikap hidup yang diwariskannya dari angkatan ke angkatan.--Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.
  • Bahasa Indonesia tepat sekali memakai perkataan budi sebagai dasar daripada budidaya atau kebudayaan. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Inggris; disana tidak ada perhubungan antara mind dengan culture atau civilization, sehingga dilihat dari suatu jurusan ilmu kebudayaan, yang dalam bahasa Inggris sering disebut ilmu sosial, pada hakekatnya kacau. Dalam bahasa Jerman ada suatu kesadaran, bahwa pengertian Geist yang sama dengan mind atau budi itu, rapat berhubungan dengan pengertian kultur; die Geisteswissenschaften boleh disamakan dengan die Kulturwissenschaften--Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari jurusan Nilai-Nilai 1977.
  • Bagi bangsa Indonesia pandangan hidup itu dapat dipelajari dari khazanah adat, istiadat, kebiasaan-kebiasaan di dalam pelbagai kebudayaan daerah--R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985.
  • Hasil real dari pemikiran filsafat itu adalah kebudayaan. Oleh karena itu usaha untuk mempelajari filsafat Indonesia dapat ditempuh melalui kebudayaan daerah --R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985.
  • Bangsa Jawa menambahkan tokoh-tokoh dari kebudayaannya sendiri kepada tokoh-tokoh Mahabharata dalam bentuk Semar, Gareng, Petruk, Bagong --Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
  • Tiba di sini, tibalah kita pada soal local genius, yaitu keistimewaan bakat dan pembawaan kebudayaan-kebudayaan Asia Tenggara atau Bumantara, yaitu kuatnya tenaga kekreatifan estetik yang sejalan dengan kecakapan menerima dan mensintesis konsep dan pemikiran dari kebudayaan lain dalam suatu integrasi struktur dan penjelmaan bentuk baru yang seimbang dan agung --Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
  • Siapa yang pernah melihat tari Ramayana Thailand, Jawa atau Bali dan pernah juga melihat tari Ramayana India, akan sadar bahwa ketiga kebudayaan yang pertama itu telah membuat seni tari dan drama yang besar dari cerita suci India Ramayana yang indahnya jauh mengatasi tari dan drama Ramayana India --Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
  • Shiwa memberikan tarinya kepada Indonesia dan meninggalkan abunya di India --Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
  • Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkretisme manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa menimbulkan banyak konflik dalam jiwa dan diri kita --Mochtar Lubis, Situasi dan Akar Budaya Kita, Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1986.
  • Sambil kita mendoa minta rakhmat dan minta perlindungan Allah, kita juga pergi ke kuburan nenek moyang kita untuk minta tolong dan bantuan. Kita cari tuyul supaya menolong kita cepat kaya, atau minta bantuan ke Gunung Kawi untuk hal yang sama --Mochtar Lubis, Situasi dan Akar Budaya Kita, Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1986.
  • Pada akhirnya kita harus menjadi diri kita sendiri. Sebab yang lain itu tak mungkin menerimanya sebagai bagian dari diri mereka. Engkau bukan bagian dari diri kami. Engkau berbeda dengan kami. Barangkali Engkau memang hidup seperti kami hidup, tetapi jelas bahwa engkau tidak tumbuh dari akar kami. Engkau beda. Engkau bukan kami. Lantas, ke mana kita akan menggabung? Pulang ke ibu. Pulang pada nilai-nilai Jawa, Batak, Sunda, Bugis, karena ibunda kita memang ada di sana. Setiap Malin Kundang itu akan menjadi batu --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, kata Bung Karno. Tetapi siapakah dia itu? Kita lebih mengenal pikiran-pikiran Gramsci daripada Tan Malaka, pemikiran Fromm daripada Ki Hadjar Dewantoro--Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Berpikirlah dari bawah, dari kenyataan budaya kita yang konkrit ini. Jangan terlalu banyak membaca buku dan menyimak berita berbahasa Inggris. Bacalah rakyat. Kita hidup di bumi kontekstual bernama kepulauan Nusantara --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Tetapi, kalau kita ditakdirkan untuk lahir dan tinggal di suatu lokal di planet ini, mungkinkah kita menghindar dari tata nilai yang dilahirkan oleh masyarakat lokal itu? --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Kita lupa bahwa budaya pendidikan negara-negara maju ini bertolak dari kebudayaan mereka sendiri. Apa yang mereka ajarkan adalah pencapaian-pencapaian budaya nenek moyang mereka. Pendidikan negara-negara maju ini, dilihat secara budaya, merupakan garis lurus perjalanan cara berpikir, cara berbuat dan semua produk kegiatan itu. Sementara kita mempunyai garis sejarah budaya yang berbeda --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Masyarakat Indonesia itu memiliki sejarah cara berpikir mereka sendiri, mempunyai sistem pengetahuan mereka sendiri, mempunyai warisan-warisan nilai-nilai sendiri, mempunyai organisasi sosialnya sendiri --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Bagi masyarakat Indonesia, filsafat bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus dibuktikan dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Filsafat sebagai wacana kurang dilakukan, tetapi filsafat sebagai 'pegangan hidup' sejak dulu dipraktikkan. Inilah sebabnya, untuk mengetahui 'filsafat' orang Indonesia, kita perlu membacanya dalam berkas-berkas hasil tindakannya. Filsafat masyarakat Indonesia adalah praktik hidupnya sehari-hari. Filsafat Indonesia tidak berwujud diskusi-diskusi verbal yang abstrak rasional seperti biasa kita baca dalam sejarah Barat (Eropa-Amerika) --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Orang Papua menjalankan filsafat Papua, orang Jawa menjalankan filsafat Jawanya, orang Sunda, orang Minang, orang Bugis, orang Melayu, orang Dayak, masing-masing menjalankan filsafatnya. Bahwa mereka memang demikian, terlihat dari caranya membangun rumah adat mereka yang berbeda-beda, dalam menganyam ragam hias pakaian mereka, dalam melukiskan simbol-simbol mereka, dalam jargon-jargon hidup kesukuan mereka, semuanya berbeda-beda --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Mengapa sikap politik Bung Karno berbeda dengan Bung Syahrir, Bung Hatta dan Tan Malaka? Tidak adakah pola pikir pra modern dibelakangnya? Mengapa Habibie berbeda dengan Gus Dur? Mengapa sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX semacam itu dalam sejarah RI? Semua itu dapat dijelaskan dari pola pikir struktural masyarakat lokal yang membesarkan mereka --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Lantas nenek moyang kita dulu itu kerjanya apa? Mencangkul melulu? Yang jelas, bangsa apa pun, memiliki tradisi pemikiran mereka sendiri. Orang Aborigin saja punya --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Meskipun pada usia sepuluh tahun saya dibawa ke desanya Foucault, tetap saja Klaten saya bawa-bawa. Dan orang sana juga tahu (meskipun bahasa Perancis saya cas cis cus) saya tetap orang udik pedalaman Jawa --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003
Apabila kita cermati pendapat dari berbagai tokoh diatas maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan:
Filsafat bangsa Indonesia tersusun dari budaya/tradisi,sejarah,agama,seni yang menjadi perbuatan,hasil fisik maupun pemikiran masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu pada saat yang sulit saat ini,kita dapat merenung,mana yang menjadi landasan berfikir untuk solusi berbagai masalah dari sekian banyak konsep filsafat yang ada?
Pada saat ini berbagai konsep berfikir yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam membuat kebijakan Negara diantaranya adalah:
  1. Keyakinan digunakan pemikiran agama agama
  2. Etika/hukum perbuatan digunakan konsep hedonisme,utilitarianisme
  3. Rasionalitas berfikir / konsep kebenaran menggunakan Relativisme,Pragmatisme

Maka kita dapat menanyakan mana yang filsafat Indonesia?
Ini merupakan problem filosofis yang harus ditempuh oleh bangsa Indonesia untuk menentukan konsep dasar tentang aspek keyakinan,konsep kebenaran baik untuk dasar berfikir sampai dasar berbuat sehingga terjadi efektivitas gerak social menjadi masyarakat yang unggul. Dalam hal ini Negara harus berperan cepat untuk memproses hal ini,sehingga penyelesaian krisis pada saat ini bersifat panjang keberhasilannya.

Diantara alternative bangunan filsafat yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah filsafat Islam,yang menurut Hafidz A,MA merupakan penyatuan konsep fisik dan ukhrowi/ruh,yaitu segala hal baik benda  maupun perbuatan, pemikiran yang dihasilkan oleh manusia harus dikaitkan dengan aspek ruhani,yaitu konsep yang bersumber dari wahyu Allah. Oleh karena itu semua aspek dari keyakinan, kebenaran, perbuatan, pemikiran, benda-benda  dapat menjadi konsep yang bulat apabila didasarkan pada wahyu.

Hal ini akan membentuk jati diri manusia Indonesia dari Individu sampai Negara hingga sifat sifat utama bangsa ini akan kembali bahkan menguasai percaturan dunia.
Previous
Next Post »