Pertanyaan
1.
Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi
dalam keadaan hamil?
2.
Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai
dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai
terlebih dahulu?
3.
Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab dengan meminta pertolongan
dari Allah Al-'Alim Al-Hakim sebagai berikut :
1.
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu : Perempuan yang diceraikan oleh
suaminya dalam keadaan hamil.
Dua : Perempuan yang hamil karena
melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini –Wal 'iyadzu
billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa
terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan
oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya
ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
Dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil
seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah
Ta'ala :
Dan
janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis
'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya
tentang makna ayat ini :
Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah
sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan para 'ulama telah
sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah.
Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah
Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami
melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya
kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan
hidayah dari Allah Al-'Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut
:
Perempuan yang telah melakukan zina
menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan
dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para 'ulama. Secara global
para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah
dengan perempuan yang berzina.
Syarat
yang pertama : Bertaubat dari
perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua
pendapat dikalangan para 'ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini
merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini
merupakan pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah
pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Al-Fatawa 32/109 :
Menikahi perempuan pezina adalah haram
sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau
selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan. Tarjih diatas berdasarkan firman
Allah 'Azza Wa Jalla Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan
yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak
dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan
telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin. (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari
ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata :
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad
Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang
perempuan pelacur disebut dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad).
(Martsad) berkata : Maka saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala
alihi wa sallam lalu saya berkata : Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?. Martsad
berkata : Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : Dan perempuan yang berzina
tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.
Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata :
Jangan kamu nikahi dia.
(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no.
2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim
2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan
oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan
haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum
bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah
dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :
Orang yang bertaubat dari dosa seperti
orang yang tidak ada dosa baginya. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam
Adh-Dho'ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa
kalimat 'nikah' dalam ayat An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat
ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini
(yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah secara
tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan
haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan
Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam :
Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami'
Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan :
Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu
diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu
untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini
disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan
Ibnu 'Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125
kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564
berpendapat lain, beliau berkata : Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak
perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat
berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan
bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal
tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas
perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang
lainnya. Yaitu dengan lima
syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak
akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat
seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke
tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan
dalil-dalil lima
syarat ini. Wallahu A'lam.
Syarat
Kedua : Telah lepas 'iddah. Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah
merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua
pendapat :
Pertama
: Wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry,
An-Nakha'iy, Rabi'ah bin 'Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan
Ishaq bin Rahawaih.
Kedua
: Tidak wajib 'iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan
Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu
menurut Imam Syafi'iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang
berzina dan boleh ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan
boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang
menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima' sampai
istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau
sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah
pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1.
Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos :
Jangan
dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak
hamil sampai ia telah haid satu kali.
(HR.
Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy
5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam
At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik
bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits
ini mempunyai dukungan dari jalan
yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh
jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no. 187).
2.
Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa
'ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya
ke tanaman orang lain.
(HR.
Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu
Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115,
Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.
2137).
3.
Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi
wa sallam :
Beliau
mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau
bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para
sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam bersabda : Sungguh saya telah
berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak
halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah :
Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan
hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang
budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena
tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat
yang mengatakan wajib 'iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah
(Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A'lam.
Catatan
:
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan
di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai
melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga
ditunjukkan oleh keumuman firman Allah 'Azza Wa Jalla :
Dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan
kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum
nampak hamilnya, 'iddahnya diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan
'iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa
'iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya
berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan
Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid.
Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id
Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam
Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana
dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :
Dan
wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama
tiga kali quru`(haid). (QS. Al-Baqarah : 228).
Kesimpulan
Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan
yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah
bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas 'iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina
dianggap lepas 'iddah adalah sebagai berikut :
kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah
sampai melahirkan.
kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya
adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut.
Wallahu Ta'ala A'lam.
Lihat pembahasan di atas dalam :
Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133,
Takmilah Al-Majmu' 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid
2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan
6/71-84 dan Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah
2/582-585, 847-850.
3. Telah jelas dari jawaban di atas
bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau
karena zina, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa
akad nikah pada masa 'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau
keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah
keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap
pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara
mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam
Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : Setelah keduanya
berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa 'iddah?.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para
'ulama. Jumhur (kebanyakan) 'ulama berpendapat : Perempuan tersebut tidak
diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik,
beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk
selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan hal tersebut.
pendapat Imam Malik ini juga merupakan
pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya
menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang
dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar 'Umar
yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar
yang serupa dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan
bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah
boleh keduanya menikah kembali setelah lepas 'iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat
: Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
4. Laki-laki dan perempuan hamil yang
melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi
perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima' maka keduanya
dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara
yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan
tersebut. Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan
hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya
karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum
ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah
radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
bersabda :
Perempuan mana saja yang nikah tanpa
izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila
ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya
kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang
tidak mempunyai wali.
(HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya
1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam
Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166,
Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi
Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam
Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no.
1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya
1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu Ya'la
dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.
4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138,
10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal.
315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu 'Abbil Barr dalam At-Tamhid
19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil
tidak sah sebagaimana nikah di masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu
kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu
Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali
perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar
atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala :
Berikanlah
kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan
(QS. An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
Berikanlah
kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.(QS.An-Nisa` : 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna
dengannya. Wallahu A'lam.
Lihat
: Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa
32/198,200 dan Zadul Ma'ad 5/104-105.
Referensi:
Dari: Majalah An-Nashihah Volume 05 Th.1/1424 H/2004 M Rubrik: Masalah Anda,
Diasuh oleh Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi; hal.2-6 Catatan: Jika
memperbanyak artikel ini mohon mencantumkan sumbernya. Terima kasih
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon